Sebenarnya artikel ini terinsperasi dari tugas sekolah dengan tujuan untuk mengenali organisme khas daerah karena menarik sayapun mencoba untuk memposting di blog dan semoga bermanfaat .
Populasi elang bondol di sejumlah daerah terancam punah.Selain di Kepulauan Seribu, kawasan yang juga dijadikan konservasi elang bondol adalah Taman Wisata Alam Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona, semuanya di Sulawesi Selatan. Di habitat ini, populasi elang bondol terhitung masih banyak. Namun, menurut catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Selatan, jarang sekali ditemukan sarang elang bondol di tepi danau.
Sejak
1989, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan elang bondol dan salak condet
sebagai maskot kota. Di kawasan Cempaka Putih terdapat patung elang bondol
sambil membawa salak condet.
Sementara
di India, elang bondol dianggap sebagai representasi kontemporer Garuda, burung
suci tunggangan Dewa Wisnu. Sedangkan di Pulau Bougainville, Papua Nugini, ada
sebuah fabel yang
menceritakan seorang ibu yang sedang berkebun dan meninggalkan anaknya di bawah
pohon pisang. Kemudian si bayi melayang ke atas langit sambil menangis, dan
berubah menjadi kaa’nang, yaitu elang bondol dan
kalungnya berubah menjadi bulu burung.
Seperti
halnya elang jawa, elang bondol juga termasuk satwa yang dilindungi dan tidak
bisa diperdagangkan secara bebas. Hal ini karena populasinya di alam liar terus
berkurang, meski status mereka berdasarkan IUCN Red List masih dinyatakan Least
Concern (LC) atau tidak terlalu mengkhawatirkan.
Pada
tahun 2004, CITES (Convention
on International Trade of Endangered Fauna and Flora /
Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) memasukkan elang
bondo; dalam daftar Apendiks II, akibat maraknya perburuan dan perdagangan
ilegal, sehingga populasinya di berbagai daerah terus berkurang.
Elang
bondol yang dijadikan maskot Kota Metropolitan Jakarta rupanya tidak senasib
dengan lambang maupun gambar yang tertempel pada bus-bus Transjakarta yang bebas
melintasi berbagai wilayah Ibu Kota. Nasib elang bondol (Haliastur indus) bisa
dikatakan mirip dengan saudaranya, elang jawa (Nisaetus bartelsi),
yang populasinya makin menurun dan mengkhawatirkan akibat maraknya perburuan
dan perdagangan ilegal. Harus ada upaya serius, termasuk pendanaan dari
Pemerintah Provinsi DKI, agar elang bondol kelak tidak sekadar maskot yang
ujudnya tak pernah dilihat warganya sendiri.
Berdasarkan
hasil survai tahun 2004, populasi elang bondol di Kepulauan Seribu, Jakarta,
hanya tinggal 15 ekor saja. Meski spesies ini termasuk burung dengan wilayah
persebaran merata di seluruh dunia, elang bondol bukanlah burung migran atau
suka berpindah-pindah tempat.
Karena
itulah dibutuhkan peranserta masyarakat dan Pemerintah Provinsi dalam
pelestarian elang bondol di habitatnya.
Elang
bondol bukan hanya dijumpai di wilayah DKI Jakarta, khususnya Kepulauan Seribu.
Meski dijadikan maskot Betawi, spesies ini juga bisa ditemukan di seluruh
wilayah Indonesia. Bahkan elang bondol juga terdapat di China Selatan, India,
Asia Tenggara, dan Australia.
Elang
Bondol berukuran sedang (45 cm), berwarna putih, dan cokelat pirang. Ketika
remaja, seluruh tubuh berwarna kecokelatan dengan coretan pada dada. Warna
cokelat mulai berubah menjadi putih keabuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa
sepenuhnya pada tahun ketiga.Ketika menjadi burung dewasa, bagian kepala,
leher, dan dada berwarna putih. Sedangkan sayap, punggung, ekor, dan perut
berwarna cokelat terang, sangat kontras dengan buluprimernya
yang berwarna hitam.
Elang bondol yang sedang berburu ikan.
Elang
bondol biasa hidup di tepi laut, muara, rawa-rawa, atau danau. Dalam literatur
perburungan internasional, burung ini disebut red-backed sea-eagle atau elang
laut punggung merah. Sebagaimana burung pemangsa
jenis lain, pakan elang
bondol berupa daging segar yang didapatkan dari berburu. Ayam, mamalia kecil,
ikan, kepiting, hingga serangga menjadi kesukaannya.
Musim
kawin tergantung lokasi habitatnya. Namun berdasarkan penelitian, elang bondol
secara umum memiliki musim kawin pada November hingga Desember dan mulai
berkembang biak pada Januari sampai Agustus.
berukuran
besar dengan bentuk yang berantakan dan terdiri atas tumpukan ranting pohon.
Tidak jarang terlihat pula beberapa sampah plastik, kain dan sebagainya yang
digunakan sebagai bahan pelapis untuk sarangnya.
Sarang
terkadang digunakan beberapa kali dalam beberapa musim berkembang biak. Jumlah
telur umumnya hanya 2 butir, yang akan dierami induk betina selama 28 – 35
hari.
Setelah
telur-telur menetas, anakan mulai belajar terbang dan bisa meninggalkan sarang
setelah berusia 40 – 56 hari. Mereka akan menjadi dewasa dan siap untuk hidup
mandiri setelah berusia 100 – 116 hari.
Catatan Om Kicau :
Sebaiknya
hindari memelihara, membeli, maupun memperdagangkan berbagai jenis burung
elang, termasuk elang bondol dan elang jawa. Meski saat ini banyak orang yang
menawarkan elang di situs penjualan online, mohon jangan membelinya.
Jika
apes, dan ketahuan petugas, Anda bisa diancam hukuman pidana maksimal 5 (lima)
tahun dan denda maksimal Rp 100 juta rupiah.
0 komentar:
Posting Komentar